Biografi Pangeran Diponegoro
MAKALAH
SEJARAH INDONESIA
SEJARAH INDONESIA
“BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO”
Disusun Oleh:
Kelompok 4
FAHIM RIDLO
FIQRI ALAMSYAH
MUHAMAD ILYAS Z.F
SIFAUL KHOFIFAH
SYABITAH UMMAMUL F
ZAHRATUL FUADA HUZAEMI
KELAS XII MIPA 6
MAN 2 CIREBON
2019
A. Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional Republik Indonesia yang sangat terkenal dengan perlawanannya melawan penjajah Belanda. Ia merupakan tokoh pejuang dari Yogyakarta dan tokoh penting dalam perang Diponegoro yang merupakan salah satu perang terbesar di pulau Jawa.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakart. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Ibunya bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, untuk mengangkatnya menjadi seorang raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, dan Raden Ayu Ratnaningrum.
Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keaagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakan terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwono V yang baru berusia 3 tahun. Sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda.
B. Perjuangan Pangeran Diponegoro
Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama 5 tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini antara pasukan Belanda dibawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa, dokumen-dokumen Belanda yang dikutip ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu dipihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponogoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangan menderita.
Untuk semakin merperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu diantaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengkubuwono IV wafat, kemenangannya Sultan Hamengkubuwono V yang baru berusia 3 tahun diangkat jadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan atau adat keraton.
C. Awal Pecahnya Perang Diponegoro
C. Awal Pecahnya Perang Diponegoro
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya disalah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak 5 km arah barat dari kota Bantul.
Sementara itu, Belanda yang tidak bisa menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnanengsih dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati.
Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Perjuangan Pangeran Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Bahkan sayembarapun dipergunakan. Hadiah 50.000 gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro. Sampai akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.
D. Penangkapan Pangeran Diponegoro
Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah purworejo). Cleerens mengusulkan agar kanjeng pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia. 28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Pangeran Diponegoro agar menhentikan perang. Permintaan itu ditolak Pangeran Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Keresidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada tanggal 5 April 1830. Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 18830 keputusan pun keluar.
E. Pangeran Diponegoro Wafat
Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnanengsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. Tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan Taiwan di Benteng Amsterdam. Pada tahun 1834 dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Komentar
Posting Komentar